ILUSTRASI ini adalah karakter Dora, Boots dan Diego, tokoh kartun yang sekarang banyak diminati anak-anak. Film kartun memang merupakan produk televisi (TV) yang paling disukai anak-anak. Tapi tahukah Anda, seperti apa dampak film kartun terhadap kecerdasan anak?
Ternyata, menonton film kartun dalam batas-batas tertentu, bisa berpengaruh secara positif terhadap kecerdasan emosional anak. Setidaknya, ini adalah hasil studi yang dilakukan Mar’aty (2000), seorang mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin, terhadap sekelompok anak berusia 11 – 13 tahun di Makassar.
Mar’aty menjadikan perilaku menonton film kartun sebagai variabel bebas (yang mempengaruhi) dan dibedakan dalam tiga sub variabel, yakni frekuensi menonton, intensitas menonton dan jenis film kartun yang disenangi. Ketiga sub variabel itu kemudian dianalisa silang dengan variabel kecerdasan emosional Anak sebagai variabel dependen (terkena dampak).
Awalnya ditemukan korelasi yang negarif. Anak-anak yang menonton film kartun dengan intensitas tinggi cenderung memiliki skor kecerdasan emosional yang rendah. Dengan kata lain, semakin tinggi frekuensi menonton film kartun semakin rendah kecerdasan emosional anak. Tapi pada sub variabel kedua diperoleh hasil positif. Anak-anak yang memiliki skor kecerdasan emosional yang tinggi umumnya mereka yang menonton film kartun dengan frekuensi sedang. Hal sebaliknya terjadi pada anak-anak yang sedikit meluangkan waktu untuk menonton film kartun maupun mereka yang terlalu lama menonton film kartun. Korelasi positif juga ditemukan pada sub variabel ketiga. Anak-anak yang menggemari film kartun petualangan memiliki skor kecerdasan emosional lebih baik dibanding anak-anak lain yang menggemari film kartun komedi dan film kartun keluarga.
Penelitian ini akhirnya menyimpulkan: film kartun, terutama yang bercerita petualangan, dapat berpengaruh positif pada kecerdasan emosional anak jika ditonton dengan intensitas sedang (cukup) dan tidak terlalu sering. Dalam studi ini, yang dimaksud film kartun petualangan adalah film kartun yang bercerita tentang kisah-kisah kepahlawanan. Adapun yang dimaksud ‘frekuensi menonton yang rendah’ adalah tidak lebih dari 4 judul dalam sepekan, sedangkan ‘intensitas menonton yang sedang’ tidak lebih dari 30 menit setiap kali menonton film kartun.
Kecerdasan emosioanal murid diamati dari perilaku mereka dalam mengendalikan marah, mengekspresikan kegembiraan, menyelesaikan pekerjaan dan empati kepada teman lain yang terkena musibah, serta kepopuleran mereka.
Anak-anak yang diteliti adalah sekelompok siswa (kelas I A) di SMP Negeri 6 Makassar (salah satu sekolah unggulan di Makassar). Sekarang mari kita lihat, bagaimana prosesnya film kartun di TV bisa berpengaruh terhadap kecerdasan emosional anak.
Film kartun yang ditayangkan di TV merupakan program yang khusus didesain untuk anak-anak. Film kartun juga menyajikan keterampilan-keterampilan emosional dan sosial yang merupakan parameter kecerdasan emosional. Lakon-lakon emosional dan sosial yang dimainkan oleh tokoh-tokoh film kartun walaupun berupa realitas semu (tidak nyata), akan terekam dalam gudang emosi anak dan melalui suatu proses belajar, hal itu akan menjadi acuan jika anak berhadapan dengan situasi yang relevan.
Ada tiga asumsi yang berlaku dalam hal ini. Anak-anak memiliki kemampuan yang tinggi dalam menyesuaikan tingkah lakunya dengan apa yang diamati di sekitarnya (patut diingat, perubahan-perubahan mental paling besar terjadi pada masa kanak-kanak, yaitu pada saat otak mengalami pertumbuhan pesat). Kedua, TV bagi anak adalah sesuatu yang menyenangkan, merupakan teman bermain ketika anak merasa kesepian dan salah satu motif mereka menonton TV adalah mempelajari sesuatu. Ketiga, kecerdasan emosional seseorang tidak secara tidak dominan dipengaruhi faktor genetik, tapi sangat ditentukan faktor lingkungan.
Salah satu teori yang dapat digunakan untuk menganalisa masalah ini adalah teori belajar sosial (Social Learning Theory) yang dikemukan Albert Bandura. Menurut teori ini, seseorang belajar bukan saja dari pengalaman langsung, melainkan juga dari peniruan dan peneladanan. Belajar terjadi dengan cara menunjukkan tanggapan (response) dan mengalami efek-efek yang timbul. Proses belajar ini diperkuat oleh peneguhan (reinforcement) dimana tanggapan akan diulangi (retention) jika seseorang mendapat ganjaran (reward) dan dihentikan jika yang diperoleh hukuman (punishment) atau jika tanggapan tidak membawa ke tujuan yang dikehendaki.
Selain teori belajar sosial, keterkaitan antara menonton film kartun dengan kecerdasan emosional anak dapat pula dianalisa dengan teori S-O-R (stimulus – organism – response). Menurut teori ini, efek yang ditimbulkan dalam proses komunikasi massa adalah reaksi khusus terhadap stimulus khusus sehingga dapat diperkirakan kesesuaian antara pesan dan reaksi komunikan. Tayangan film (termasuk film kartun) merupakan stimulus khusus, individu anak merupakan organism dan sikap anak terhadap tayangan film yang ditontonnya merupakan bentuk response. Keterampilan-keterampilan emosional dan sosial anak adalah kelanjutan dari response anak terhadap tayangan film yang ditontonnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar