Di sebuah wilayah yang sangat subur dengan kekayaan alam dan tambang yang luar biasa melimpah, rakyat Papua hidup dibawah garis kemiskinan,dalam kebodohan dan sangat primitif Meski di tanah leluhurnya terdapat tambang emas terbesar di dunia, orang Papua khususnya yang tinggal di Mimika, Pegunungan Bintang,Paniai, dan Puncak jaya pura . tapi sangat sungu naas jaya pura termasut daerah yang penduduknya menderita kemiskinan. Di artikel ini saya akan mejabar kan data kemiskinan daerah papua dari tahun 2005 hinga 2010. Menurut data BPS pada tahun 2005 tercatat daerah miskin di papua sekitar 1.028.2 (ribuan)dan pada tahun 2006 tercatat penduduk yang miskin sekitar 816.7(ribuan), dan pada tahun 2007 tercatat sekitar 793.4 (ribuan),pada tahun 2008 tercatata sekitar 793.4 (ribuan) dan pada tahun 2009 sekitar 760.3(ribuan) dan pada trahun 2010 tercatat sekitar 761.6 (ribuan).
Secara teori, berdasarkan faktor penyebabnya kemiskinan bisa dikategorikan dalam dua hal, yakni kemiskinan Struktural dan kemiskinan Alamiah. Kemiskinan Struktural atau bisa disebut Man made poverty, adalah kondisi kemiskinan yang lebih disebabkan oleh struktur sosial yang ada yang mencakup tatanan organisasi dan aturan permainan yang diterapkan. Sedangkan Kemiskinan Alamiah banyak disebabkan oleh rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan sumberdaya alam.
Man made poverty
Untuk Papua, kemiskinan struktural adalah salah satu faktornya. Pejabat yang korup, terjadinya kolusi, nepotisme serta diskriminasi. Status otonomi khusus dan otonomi daerah yang diterapkan di Papua sama sekali tidak membawa dampak signifikan, kecuali hanya memperkaya beberapa pribadi yang mabuk oleh gelimang lembaran rupiah yang mereka terima (Charisma, ed.des-jan’08).
Dan ironisnya seperti yang dinyatakan Annie Numberi-istri Freddy Numberi – Menteri Kelautan dan Perikanan (dikutip dari Charisma), mayoritas yang duduk dalam posisi eksekutif dan legeslatif di Papua adalah justru para pendeta. Padahal untuk Papua nilai APBD yang dikucurkan adalah terbesar ke dua di Indonesia. Lalu kemana semua uang tersebut ?
Usaha yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat sudah patut. Lalu bagaimana jajaran pemerintah tingkat daerah ? Seperti kata Gubernur Papua Barnabas Suebu di Den Haag, Sabtu (27/10), diakui adanya kesalahan leadership, adanya mismanagement dan penyalah gunaan dana yang sangat besar di tingkat pemerintah daerah sehingga ia menyebutkan sangat mendesak diwujudkannya good governance yang melayani rakyat dengan sebaik-baiknya.
Kemiskinan Alamiah
Penyebab dominan dari kemiskinan yang lain adalah kondisi dan kualitas sumberdaya manusia yang rendah. Bisa dikatakan rakyat Papua sangat primitif, tidak tersentuh peradaban dan tidak mengenal teknologi. Walaupun alam Papua bagai surga dunia, tetapi dengan sumberdaya manusia yang sangat rendah mustahil mengangkat kesejahteraan mereka. Dan yang terjadi saat ini adalah penindasan hak rakyat Papua, perampokan kekayaan dan pembodohan.
Disisi lain, Papua menjadi perhatian dunia, kondisi kelaparan di Yahukimo sengaja di blow-up sebagai komoditas politik untuk mengusung disintegrasi bagi pihak-pihak yang menginginkan melepaskan diri dari NKRI. Pemerintah Indonesia dianggap hanya mengeruk kekayaan Papua, gagal menangani kesejahteraan mereka yang di Papua. Bahkan lebih jauh lagi, pemerintah Indonesia dianggap sebagai menjajah rakyat Papua.
Man made poverty
Untuk Papua, kemiskinan struktural adalah salah satu faktornya. Pejabat yang korup, terjadinya kolusi, nepotisme serta diskriminasi. Status otonomi khusus dan otonomi daerah yang diterapkan di Papua sama sekali tidak membawa dampak signifikan, kecuali hanya memperkaya beberapa pribadi yang mabuk oleh gelimang lembaran rupiah yang mereka terima (Charisma, ed.des-jan’08).
Dan ironisnya seperti yang dinyatakan Annie Numberi-istri Freddy Numberi – Menteri Kelautan dan Perikanan (dikutip dari Charisma), mayoritas yang duduk dalam posisi eksekutif dan legeslatif di Papua adalah justru para pendeta. Padahal untuk Papua nilai APBD yang dikucurkan adalah terbesar ke dua di Indonesia. Lalu kemana semua uang tersebut ?
Usaha yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat sudah patut. Lalu bagaimana jajaran pemerintah tingkat daerah ? Seperti kata Gubernur Papua Barnabas Suebu di Den Haag, Sabtu (27/10), diakui adanya kesalahan leadership, adanya mismanagement dan penyalah gunaan dana yang sangat besar di tingkat pemerintah daerah sehingga ia menyebutkan sangat mendesak diwujudkannya good governance yang melayani rakyat dengan sebaik-baiknya.
Kemiskinan Alamiah
Penyebab dominan dari kemiskinan yang lain adalah kondisi dan kualitas sumberdaya manusia yang rendah. Bisa dikatakan rakyat Papua sangat primitif, tidak tersentuh peradaban dan tidak mengenal teknologi. Walaupun alam Papua bagai surga dunia, tetapi dengan sumberdaya manusia yang sangat rendah mustahil mengangkat kesejahteraan mereka. Dan yang terjadi saat ini adalah penindasan hak rakyat Papua, perampokan kekayaan dan pembodohan.
Disisi lain, Papua menjadi perhatian dunia, kondisi kelaparan di Yahukimo sengaja di blow-up sebagai komoditas politik untuk mengusung disintegrasi bagi pihak-pihak yang menginginkan melepaskan diri dari NKRI. Pemerintah Indonesia dianggap hanya mengeruk kekayaan Papua, gagal menangani kesejahteraan mereka yang di Papua. Bahkan lebih jauh lagi, pemerintah Indonesia dianggap sebagai menjajah rakyat Papua.
Kemiskinan dan kelaparan merupakan fenomena sosial yang dihadapi setiap negara terutama di negara-negara miskin dan sedang berkembang. Kemiskinan merupakan masalah multidimensional yang berkaitan dengan banyak aspek, namun pada intinya adalah ketidakmampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar minimumnya (basic needs). Penduduk miskin bukan saja mereka yang berpenghasilan sangat rendah tetapi juga mereka yang berada dalam kondisi buruk dalam hal kesehatan, pendidikan dan aspek lainnya sebagai manusia. Oleh karenanya, penanggulangan kemiskinan di wilayah Papua harus memperhatikan akar masalah utama kemiskinan. Program penanggulangan kemiskinan ini menjadi komitmen bersama antara Indonesia dengan Negara-negara anggota PBB yang tertuang dalam deklarasi MDGs (Mellenium Development Goals). Dimana target pertama dari MDGs adalah menurunkan proporsi penduduk miskin hingga setengahnya antara tahun 1990 sampai dengan tahun 2015.
Selama 10 tahun terakhir (1999-2008), persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan menurun sebesar 17.67 persen, yaitu dari 54.75 persen di tahun 1999 menjadi 37.08 di tahun 2008. Ini berarti tujuan mengurangi proporsi penduduk miskin setengahnya pada tahun 2015 merupakan tantangan yang berat. Namun jika dilihat capaian selama 10 tahun terakhir, Papua harus optimis target tersebut dapat tercapai. Asalkan pemerintah pusat maupun pemerintah Papua tetap konsisten menggulirkan program-program yang pro poor. Baik yang bersifat bantuan langsung seperti BLT, maupun yang bersifat pemberdayaan seperti KUR dan PNPM. Demikian juga dengan program RESPEK yang digulirkan gubernur Papua, harus tetap dikawal, sehingga penggunaan dana tersebut benar-benar dapat menggerakan kegiatan ekonomi lokal di setiap kampung.
Dilihat per kabupaten, pada tahun 2008 jumlah peduduk miskin terkonsentrasi di daerah pegunungan tengah (Jayawijaya, Yahukimo, Tolikara, Puncak Jaya, dan Paniai) dan sedikit daerah pesisir (Supiori dan Waropen).
Perkembangan indeks kedalaman kemiskinan selama 10 tahun terakhir berfluktuasi namun trendnya menurun. Nilai P1 pada tahun 1999 sebesar 18.92 menurun hampir setengahnya menjadi 10.89 pada tahun 2008. Begitupula dengan nilai P2. indek ini menurun seiring penurunan P1. yaitu dari 8.91 menjadi 4.01 pada periode yang sama. Penurunan nilai kedua indeks ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung makin mendekati garis kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin juga semakin kecil. Artinya pendapatan penduduk miskin makin membaik.
Jika dilihat lebih mendalam. indeks kedalaman kemiskinan terendah terjadi pada tahun 2002 yang berarti pada tahun tersebut pengeluaran penduduk miskin paling mendekati garis kemiskinan. Setelah tahun 2002. nilai P1 cenderung stabil berkisar antara 3 sampai 5.
Selama 10 tahun terakhir (1999-2008), persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan menurun sebesar 17.67 persen, yaitu dari 54.75 persen di tahun 1999 menjadi 37.08 di tahun 2008. Ini berarti tujuan mengurangi proporsi penduduk miskin setengahnya pada tahun 2015 merupakan tantangan yang berat. Namun jika dilihat capaian selama 10 tahun terakhir, Papua harus optimis target tersebut dapat tercapai. Asalkan pemerintah pusat maupun pemerintah Papua tetap konsisten menggulirkan program-program yang pro poor. Baik yang bersifat bantuan langsung seperti BLT, maupun yang bersifat pemberdayaan seperti KUR dan PNPM. Demikian juga dengan program RESPEK yang digulirkan gubernur Papua, harus tetap dikawal, sehingga penggunaan dana tersebut benar-benar dapat menggerakan kegiatan ekonomi lokal di setiap kampung.
Dilihat per kabupaten, pada tahun 2008 jumlah peduduk miskin terkonsentrasi di daerah pegunungan tengah (Jayawijaya, Yahukimo, Tolikara, Puncak Jaya, dan Paniai) dan sedikit daerah pesisir (Supiori dan Waropen).
Perkembangan indeks kedalaman kemiskinan selama 10 tahun terakhir berfluktuasi namun trendnya menurun. Nilai P1 pada tahun 1999 sebesar 18.92 menurun hampir setengahnya menjadi 10.89 pada tahun 2008. Begitupula dengan nilai P2. indek ini menurun seiring penurunan P1. yaitu dari 8.91 menjadi 4.01 pada periode yang sama. Penurunan nilai kedua indeks ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung makin mendekati garis kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin juga semakin kecil. Artinya pendapatan penduduk miskin makin membaik.
Jika dilihat lebih mendalam. indeks kedalaman kemiskinan terendah terjadi pada tahun 2002 yang berarti pada tahun tersebut pengeluaran penduduk miskin paling mendekati garis kemiskinan. Setelah tahun 2002. nilai P1 cenderung stabil berkisar antara 3 sampai 5.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar