Senin, 23 Mei 2011

Prospek Perekonomian Indonesia 2011

Prospek Perekonomian Indonesia 2011
Menuju “Investment Grade”?
A.Prasetyantoko
 (Dimuat di Majalah InfoBank edisi Oktober 2010)

            Menapaki kuartal terakhir 2010, ada hawa optimis yang berhembus dalam ruang perekonomian kita. Harian The New York Times, edisi 5 Agustus 2010 menyebut: Indonesia adalah sebuah model ekonomi, setelah melewati krisis lebih dari sepuluh tahun. Sementara Financial Times (12/08/2010) mengatakan, perekonomian Indonesia merupakan macan yang tengah terbangun.

Negeri ini merupakan salah satu target investasi yang menjanjikan. Tidakkah kita optimis menghadapi tahun 2011?


            Tentu saja kita layak optimis. Namun, tetap harus waspada, karena ada beberapa “tantangan struktural” yang juga serius. Kegagalan kita mengelola persoalan-persoalan mendasar, justru akan menjebak kita. Kita hanya akan menjadi bangsa yang labil, karena hanya menjadi target investasi portofolio jangka pendek.
Jika kita tengok kondisi sektor finansial kita, yang meliputi pasar modal, uang, utang dan perbankan, nampaknya tak ada yang mengkuatirkan. Secara umum, peringkat investasi Indonesia terus meningkat, seiring dengan semakin turunnya credit default swap (CDS) sebagai cermin dari risiko investasi. Bahkan,Japan Credit Rating Agency Ltd., (JCRA) telah menaikkan peringkat Indonesia ke level “investment grade”  atau BBB- pada bulan Juli lalu. Tidak menutup kemungkinan, lembaga pemeringkat lainnya juga akan menaikkan ratingIndonesia di tahun 2011.
Sementara ini, Moody’s masih menempatkan Indonesia dalam 2 tingkat di bawah level investasi (Ba2) dalam evaluasinya Juni lalu. Demikian pula S&P yang pada bulan Maret mengevaluasi peringkat Indonesia dan menetapkan posisi BB+/stable. Dan, Fitch Rating juga menempatkan Indonesia pada satu tingkat di bawah investment grade, yaitu BB+. Selain bersikap optimis, nampaknya kita juga perlu bertanya: faktor-faktor apa sajakah yang akan menghambat kita masuk ke level investasi?
Masih melanjutkan cerita sukses, prospek perbankan kita juga tak kalahkinclong. Di tengah ambruknya sistem perbankan global, perbankan Indonesia justru membukukan tingkat keuntungan yang tinggi, selain menunjukkan tingkat kehati-hatian. Tingkat Net-Interest Margin (NIM) perbankan Indonesia yang mencapai angka sekitar 5,7 persen, merupakan angka paling tinggi dibandingkan dengan negara-negara sekitar. Bandingkan dengan Singapura yang NIM nya hanya sekitar 2 persen, Malaysia 2,3 persen, Thailand 3,3 persen. Jadi, tak salah jika para bankir asing sangat berminat masuk ke Indonesia, di samping karena potensi pasarnya yang masih sangat luas.
Ternyata, tingkat profitabilitas yang tinggi juga ditopang oleh tingkat kesehatan bank yang tinggi pula. Jika Basel Accord III diterapkan, dipastikan sektor perbankan di Indonesia tidak akan mengalami masalah. Menurut data Bank Indonesia yang dikeluarkan pada bulan Agustus 2010, dari 113 bank yang ada di Indonesia hanya 8 bank yang tingkat kecukupan modalnya (capital adequacy ratio) di bawah 8 persen. Sehingga, untuk mengikuti aturan Basel tentang modal utama atau Tier 1 Capital sebesar 4,5 persen yang harus tercapai pada 2013) dan 6 persen pada 2019, tidak akan menjadi persoalan.  

Persoalan Struktural
            Secara umum, prospek perekonomian Indonesia tahun 2011 sangat menjanjikan. Dan dengan demikian, potensi untuk memperolah gelar investment grade bukanlah hal yang mustahil. Tetapi, tetap saja ada persoalan-persoalan yang harus segera diatasi. Dan jika tidak, lagi-lagi kita berpotensi akan kehilangan kesempatan untuk kesekian kalinya, di berbagai bidang.
            Pada prinsipnya, ada dua bidang besar yang masih menjadi kendala perekonomian kita untuk masuk dalam kritria perekonomian yang kuat. Tantangan pertama terkait dengan masih relatif kecilnya proporsi sektor keuangan kita terhadap skala perekonomian kita yang sangat besar. Dengan demikian, isufinancial deepening masih sangat relevan untuk direspon. Kalau perbankan kita stabil dan menguntungkan, so what? Perekonomian maju salah satunya ditandai dengan penetrasi sektor keuangan yang cukup dalam terhadap dinamika perekonomian.
Dalam laporan Bank Dunia, Financial Access 2010, terlihat bahwa jumlah penabung per 1.000 orang di Indonesia masih sangat kecil, yaitu di bawah 1.000. Sementara, Thailand sudah mencapai sekitar 1.500. Bahkan Malaysia sudah lebih dari 3.000. Kecenderungan yang sama juga terjadi dalam hal jumlah pinjaman per 1.000 penduduk. Kita sejajar dengan Kamboja dan Mongolia, dan tertinggal jauh dari Malaysia. Bahkan kita jauh di bawah angka rata-rata untuk negara sedang berkembang.
Data lain yang juga menunjukkan “dangkalnya” sektor finansial di Indonesia adalah rasio jumlah uang beredar (broad money/M2) terhadap PDB yang juga masih kecil, dan bahkan ada  kecenderungan semakin mengecil hingga tahun 2007 lalu. Tentu saja, hal ini perlu mendapatkan perhatian serius dari otoritas moneter dan pemerintah. Terkait dengan rencana pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pertanyaan yang layak diajukan, siapa nanti yang akan bertanggungjawab mendorong financial deepening?
Persoalan struktural kedua terkait dengan tingkat daya saing sektor riil kita yang masih relatif buruk. Meski World Economic Forum (WEF) dalam “World Competitiveness Report” telah menaikkan indeks daya saing kita dari 54 menuju 44 untuk periode 2010-2011 ini, tetapi tidak serta-merta terjadi perubahan mendasar. Dari laporan tersebut, terlihat bahwa membaiknya tingkat daya saing kita lebih didorong oleh perbaikan faktor-faktor makro ekonomi, seperti tingkat inflasi yang terjaga, pertumbuhan yang relatif tinggi di tengah krisis global, suku bunga yang reletif rendah dsb.
Namun, kalau kita tengok sisi fundamental dari daya saing, seperti ketersediaan infrastruktur, dukungan birokrasi serta kualitas kesehatan dan pendidikan masyarakat, kita masih terbilang buruk. Dengan demikian, masih ada banyak pekerjaan yang diselesaikan untuk benar-benar meningkatkan daya saing kita. Bisa jadi, kalau kita hanya bertumpu pada stabilitas makro, tahun depan kembali melorot, kalau terjadi goncangan pada sisi makro ekonomi.
Tanpa perbaikan infrastruktur, ketersediaan sumber daya energi serta dukungan birokrasi, sektor riil pada dasarnya tidak akan bergerak cepat. Dan jika itu terjadi, stabilitas sektor finansial tidak akan berarti banyak dalam peningkatan kapasitas ekonomi. Konkritnya, tidak akan ada pergerakan sektor produksi yang meningkatkan daya beli masyarakat, dan akhirnya kemampuan membayar pajak. Jika siklus ini gagal dicapai, maka investment grade tidak akan ada artinya.

Manfaat Investment Grade
            Jika pemerintah gagal mendinamisir sektor produksi, melalui peningkatan kapasitas investasi riil, dikuatirkan potensi investment grade yang sudah di depan mata juga tidak bisa diraih. Lembaga pemeringkat tentu tidak bisa dikelabui dengan menutup fakta-fakta riil di lapangan. Kalaupun sekarang modal asing masuk deras, itu bukan semata-mata karena alasan fundamental ekonomi domestik, tetapi juga faktor eksternal.
            Dan jika perbaikan struktural gagal dicapai oleh Indonesia, sebenarnya perekonomian kita hanya layak untuk menanam modal portofolio saja, yang bisa angkat kali sewaktu-waktu ada dorongan, baik dari sisi domestik maupun global. Tahun 2011 adalah penentuan, apakah potensi ekonomi Indonesia akan benar-benar terealisasi, atau sekedar ilusi. Dan untuk tidak membuat ilusi, maka pekerjaan konkrit sudah menunggu: membangun infrastruktur, mereformasi birokrasi, merancang kebijakan energi, pengembangan industri dsb.

Penulis adalah Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM), Unika Atma Jaya, Jakarta

sumber 
(di kutip jam 21.38 hari senin tgl 23-05-2011)

Rabu, 11 Mei 2011

kemiskinan papua

Di sebuah wilayah yang sangat subur dengan kekayaan alam dan tambang yang luar biasa melimpah, rakyat Papua hidup dibawah garis kemiskinan,dalam kebodohan dan sangat primitif Meski di tanah leluhurnya terdapat tambang emas terbesar di dunia, orang Papua khususnya yang tinggal di Mimika, Pegunungan Bintang,Paniai, dan Puncak jaya pura . tapi sangat sungu naas jaya pura termasut daerah yang penduduknya menderita kemiskinan. Di artikel ini saya akan mejabar kan data kemiskinan daerah papua dari tahun 2005 hinga 2010. Menurut data BPS pada tahun 2005 tercatat daerah miskin di papua sekitar 1.028.2 (ribuan)dan pada tahun 2006 tercatat penduduk yang miskin sekitar 816.7(ribuan), dan pada tahun 2007 tercatat sekitar 793.4 (ribuan),pada tahun 2008 tercatata sekitar 793.4 (ribuan) dan pada tahun 2009 sekitar 760.3(ribuan) dan pada trahun 2010 tercatat sekitar 761.6 (ribuan).

Secara teori, berdasarkan faktor penyebabnya kemiskinan bisa dikategorikan dalam dua hal, yakni kemiskinan Struktural dan kemiskinan Alamiah. Kemiskinan Struktural atau bisa disebut Man made poverty, adalah kondisi kemiskinan yang lebih disebabkan oleh struktur sosial yang ada yang mencakup tatanan organisasi dan aturan permainan yang diterapkan. Sedangkan Kemiskinan Alamiah banyak disebabkan oleh rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan sumberdaya alam.
Man made poverty

Untuk Papua, kemiskinan struktural adalah salah satu faktornya. Pejabat yang korup, terjadinya kolusi, nepotisme serta diskriminasi. Status otonomi khusus dan otonomi daerah yang diterapkan di Papua sama sekali tidak membawa dampak signifikan, kecuali hanya memperkaya beberapa pribadi yang mabuk oleh gelimang lembaran rupiah yang mereka terima (Charisma, ed.des-jan’08).

Dan ironisnya seperti yang dinyatakan Annie Numberi-istri Freddy Numberi – Menteri Kelautan dan Perikanan (dikutip dari Charisma), mayoritas yang duduk dalam posisi eksekutif dan legeslatif di Papua adalah justru para pendeta. Padahal untuk Papua nilai APBD yang dikucurkan adalah terbesar ke dua di Indonesia. Lalu kemana semua uang tersebut ?

Usaha yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat sudah patut. Lalu bagaimana jajaran pemerintah tingkat daerah ? Seperti kata Gubernur Papua Barnabas Suebu di Den Haag, Sabtu (27/10), diakui adanya kesalahan leadership, adanya mismanagement dan penyalah gunaan dana yang sangat besar di tingkat pemerintah daerah sehingga ia menyebutkan sangat mendesak diwujudkannya good governance yang melayani rakyat dengan sebaik-baiknya.

Kemiskinan Alamiah

Penyebab dominan dari kemiskinan yang lain adalah kondisi dan kualitas sumberdaya manusia yang rendah. Bisa dikatakan rakyat Papua sangat primitif, tidak tersentuh peradaban dan tidak mengenal teknologi. Walaupun alam Papua bagai surga dunia, tetapi dengan sumberdaya manusia yang sangat rendah mustahil mengangkat kesejahteraan mereka. Dan yang terjadi saat ini adalah penindasan hak rakyat Papua, perampokan kekayaan dan pembodohan.
Disisi lain, Papua menjadi perhatian dunia, kondisi kelaparan di Yahukimo sengaja di blow-up sebagai komoditas politik untuk mengusung disintegrasi bagi pihak-pihak yang menginginkan melepaskan diri dari NKRI. Pemerintah Indonesia dianggap hanya mengeruk kekayaan Papua, gagal menangani kesejahteraan mereka yang di Papua. Bahkan lebih jauh lagi, pemerintah Indonesia dianggap sebagai menjajah rakyat Papua.
Kemiskinan dan kelaparan merupakan fenomena sosial yang dihadapi setiap negara terutama di negara-negara miskin dan sedang berkembang. Kemiskinan merupakan masalah multidimensional yang berkaitan dengan banyak aspek, namun pada intinya adalah ketidakmampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar minimumnya (basic needs). Penduduk miskin bukan saja mereka yang berpenghasilan sangat rendah tetapi juga mereka yang berada dalam kondisi buruk dalam hal kesehatan, pendidikan dan aspek lainnya sebagai manusia. Oleh karenanya, penanggulangan kemiskinan di wilayah Papua harus memperhatikan akar masalah utama kemiskinan. Program penanggulangan kemiskinan ini menjadi komitmen bersama antara Indonesia dengan Negara-negara anggota PBB yang tertuang dalam deklarasi MDGs (Mellenium Development Goals). Dimana target pertama dari MDGs adalah menurunkan proporsi penduduk miskin hingga setengahnya antara tahun 1990 sampai dengan tahun 2015.

Selama 10 tahun terakhir (1999-2008), persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan menurun sebesar 17.67 persen, yaitu dari 54.75 persen di tahun 1999 menjadi 37.08 di tahun 2008. Ini berarti tujuan mengurangi proporsi penduduk miskin setengahnya pada tahun 2015 merupakan tantangan yang berat. Namun jika dilihat capaian selama 10 tahun terakhir, Papua harus optimis target tersebut dapat tercapai. Asalkan pemerintah pusat maupun pemerintah Papua tetap konsisten menggulirkan program-program yang pro poor. Baik yang bersifat bantuan langsung seperti BLT, maupun yang bersifat pemberdayaan seperti KUR dan PNPM. Demikian juga dengan program RESPEK yang digulirkan gubernur Papua, harus tetap dikawal, sehingga penggunaan dana tersebut benar-benar dapat menggerakan kegiatan ekonomi lokal di setiap kampung.

Dilihat per kabupaten, pada tahun 2008 jumlah peduduk miskin terkonsentrasi di daerah pegunungan tengah (Jayawijaya, Yahukimo, Tolikara, Puncak Jaya, dan Paniai) dan sedikit daerah pesisir (Supiori dan Waropen).

Perkembangan indeks kedalaman kemiskinan selama 10 tahun terakhir berfluktuasi namun trendnya menurun. Nilai P1 pada tahun 1999 sebesar 18.92 menurun hampir setengahnya menjadi 10.89 pada tahun 2008. Begitupula dengan nilai P2. indek ini menurun seiring penurunan P1. yaitu dari 8.91 menjadi 4.01 pada periode yang sama. Penurunan nilai kedua indeks ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung makin mendekati garis kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin juga semakin kecil. Artinya pendapatan penduduk miskin makin membaik.

Jika dilihat lebih mendalam. indeks kedalaman kemiskinan terendah terjadi pada tahun 2002 yang berarti pada tahun tersebut pengeluaran penduduk miskin paling mendekati garis kemiskinan. Setelah tahun 2002. nilai P1 cenderung stabil berkisar antara 3 sampai 5.